Friday 29 July 2011

MALAMATIYAH

Dunia sufi pernah terbelah dalam polarisasi atribut. Pada awal kemunculannya, terdapat dua kubu besar yang saling bertentangan menyikapi penggunaan baju shuf sebagai ciri khas kaum sufi.

Di Khurasan berkembang sebuah aliran tasawuf Malamatiyah yang anti menggunakan pakaian tertentu sebagai ciri khas kelompok sufi. Aliran ini berpandangan bahwa seorang sufi selayaknya menyembunyikan identitas lahirnya dari mata khalayak ramai.

Pandangan tersebut merupakan reaksi balik Malamatiyah atas maraknya penggunaan ziyy al-shufiyah (pakaian kelompok sufi) dalam tradisi sufi di Irak. Dalam sejarah tasawuf, Irak memang disebut-sebut sebagai pusat kemunculan shufiyah (kelompok sufi) generasi pertama. Sebagai pandangan hidup personal, tasawuf memang ada sejak masa Rasulullah dan Shahabat, tapi sebagai sebuah komunitas yang memiliki tradisi dan ciri khas tertentu, kelompok sufi ditengarai muncul pertama kali secara massif di Irak.

Maraknya penggunaan pakaian khas sufi itu menjadi salah satu faktor penting sehingga sebagian besar peneliti tasawuf memiliki kesimpulan bahwa kata tashawwuf diderivasi dari shuf (baju wol) yang menjadi pakaian khas mereka. Mereka juga menyimpulkan bahwa nama shufi merupakan nisbat (afiliasi) dari kata shuf ini.

Penggunaan pakaian yang sangat sederhana merupakan salah satu ekspresi kezuhudan seorang sufi. Hal ini menjadi fenomena umum kaum sufi khususnya yang berada di wilayah Irak. Mereka umumnya menggunakan pakaian putih penuh sobekan dan tambalan sebagai wujud dari ketidakpedulian mereka terhadap urusan materi (harta).

Adapula kecenderungan, mereka hanya memiliki sepotong pakaian, tidak lebih. Dalam cerita Thayfur; ketika Abu Yazid al-Busthami wafat tidak meninggalkan kekayaan apapun kecuali sepotong pakaian yang sedang dipakai. Dan itupun hasil pinjaman. Hal serupa juga dilakukan al-Jariri.

Kesederhanaan pakaian sebagai wujud kezuhudan ini mendapat reaksi keras dari kalangan sufi Malamatiyah di Khurasan. Aliran ini mengharamkan pemakaian pakaian robek dan bertambal. Sebab, hal tersebut berarti menampakkan kezuhudan dirinya serta mengundang perhatian dan pujian orang.

Malamatiyah berpandangan bahwa seorang sufi harus menyembunyikan ekspresi batin dan hubungan dirinya dengan Tuhan. Bahkan, semestinya menampakkan hal-hal yang tidak sejalan dengan syariat agar dipandang jelek oleh orang lain.

Pandangan ekstrim Malamatiyah ini tumbuh dari komitmen kuat mereka untuk memerangi penyakit-penyakit hati, seperti riya’ (ingin dilihat baik), ujb (kagum dengan diri sendiri) dan nifaq (munafik/penampilan lahir lebih baik dari batin).

Keengganan terhadap atribut sufi sebetulnya tidak hanya berkembang di kalangan Malamatiyah Khurasan. Di Irak pun pandangan semacam itu juga muncul dari beberapa tokoh sufi justeru sebelum kemunculan Malamatiyah di Khurasan. Sufyan ats-Tsauri termasuk salah satu tokoh sufi Irak yang menentang penggunaan atribut sufi (ziyy al-shufiyah) yang berupa pakaian shuf (wol). Pada mulanya, Sufyan termasuk sufi yang pro dengan penggunaan ziyy al-shufiyah. Tapi, pasca pertemuannya dengan pelopor sufi, Abu Hasyim az-Zahid, ia berbalik arah menentang penggunaan pakaian shuf.

Sufyan dipengaruhi oleh Abu Hasyim mengenai teknis penyucian diri dari berbagai penyakit hati. Dalam riwayat Ibnu Qayyim al-Jauzi, Sufyan ats-Tsauri pernah berkata: “Aku selalu riya’ tapi aku tidak merasa sehingga aku belajar kepada Abu Hasyim. Aku belajar darinya tentang (bagaimana) meninggalkan riya’.”

Risiko riya' dan penyakit hati bagi pemakai baju shuf cukup besar. Al-Ghazali dalam Ihya' Ulum al-Din mengkategorikan pemakaian shuf sebagai salah satu penyebab riya' dalam masalah hubungan manusia dan Tuhan. Beliau mengupas panjang lebar tentang bagaimana baju justeru menjerumuskan seseorang pada lembah riya'. Orang yang riya' terhadap ahl al-shalah (kelompok religius) akan menggunakan pakaian kasar penuh sobek dan tambalan. Sedangkan orang yang riya' terhadap ahl al-dun'ya (golongan dunia), maka ia memakai pakaian yang bagus dan indah.

Berbeda dengan al-Ghazali, Ibnu Taymiyah dan Ibnu Qayyim justeru menolak mentah-mentah penggunaan pakaian tertentu di kalangan sufi. Dalam al-Istiqamah, Ibnu Taymiyah menvonisnya sebagai bid'ah dan pekerjaan kelompok Khawarij. Dalam interpretasi Ibnu Taymiyah penggunaan baju tertentu sebagai "panutan" atau simbol keagamaan adalah bid'ah, sebab Rasulullah tidak terikat dengan penggunaan pakaian tertentu. Kritik yang sama disampaikan Ibnu Qayyim, murid Ibnu Taymiyah dalam Ighatsat al-Lahfan, bahkan di situ ia memasukkannya sebagai perangkap dan tipu daya iblis.

Kritik terhadap penggunaan baju shuf  juga diarahkan pada bahan dan jenis baju yang dipakai oleh para sufi itu. Dalam Talbis Iblis, Ibnu al-Jawzi mengisahkan bahwa pakar fiqh guru Abu Hanifah, Hammad bin Sulayman, menegor tokoh sufi Farqad al-Sanji gara-gara ia memakai baju shuf yang merupakan pakaian biarawan nasrani. "Letakkan kenasranianmu ini," kata Hammad.


Dari sekian banyak sudut padang di atas, pada dasarnya tidak ada nilai plus-minus dalam pakaian shuf sebagai sebuah benda. Nilai lebih atau kurang itu terletak pada bagaimana dan untuk apa pakaian itu digunakan.

Pada awalnya, pakaian shuf dengan segala kesederhanaannya digunakan oleh orang-orang zuhud sebagai bagian dari wujud tidak adanya cinta dunia (hubb al-dun'ya) dalam diri dan hatinya. Maka, baju shuf kemudian menjadi semacam salah satu identitas bagi kelompok sufi.

Ketika image itu tercipta, maka baju shuf memiliki beberapa risiko. Dalam pandangan Malamatiyah dan al-Ghazali, risiko utamanya adalah shuf bisa menjadi sarang penyakit hati, seperti riya', ujb dan nifaq. Menurut Ibnu Taymiyah dan Ibnu Qayyim, baju shuf berisiko menyuburkan fanatisme atribut yang tidak diajarkan oleh Rasulullah.

0 komentar:

Post a Comment

Alangkah berbudinya anda, jika sedikit meninggalkan pesan untuk saya...