Sebiji buncis meronta dan terus
melompat
hingga hampir melampaui bibir kuali
di mana ia tengah direbus di atas api.
“Kenapa kau lakukan ini padaku?”
Dengan sendok kayunya,
Sang Juru Masak mementungnya jatuh
kembali.
“Jangan coba-coba melompat keluar.
Kau kira aku sedang menyiksamu?
Aku memberimu cita rasa!
Sehingga kau layak bersanding dengan
rempah dan nasi
untuk menjadi gelora kehidupan dalam
diri
seseorang.
Ingatlah saat-saat kau nikmati regukan air
hujan di kebun.
Saat itu ada untuk saat ini!”
Pertama, keindahan. Lalu kenikmatan,
kemudian kehidupan baru yang mendidih
akan muncul.
Setelah itu, Sang Sahabat akan punya
sesuatu yang enak untuk dimakan.
Pada saatnya, buncis akan berkata pada
Sang Juru Masak,
“Rebuslah aku lagi. Hajar aku dengan
sendok adukan,
karena aku tak bisa melakukannya
sendirian.
Aku seperti gajah yang melamun
menerawang
tentang taman di Hindustan yang dulu
kutinggalkan,
dan tidak memperhatikan pawang
pengendali arah jalan.
Engkaulah pemasakku, pawangku, jalanku
menuju cita rasa kesejatian.
Aku suka caramu membuat masakan.”
“Dulu aku pun seperti engkau,
masih hijau dari atas tanah. Lalu aku
direbus
matang dalam waktu,
direbus matang dalam jasad. Dua
rebusan
yang dahsyat.
Jiwa binatang dalam diriku tumbuh kuat.
Kukendalikan dia dengan latihan,
lalu aku direbus lagi, dan direbus lagi.
Pada satu titik aku melampaui itu semua,
dan menjadi gurumu. 1”(Puisi JALALUDIN
RUMI ttg pentingnya seorang Mursyid). Ttp dlm balutan cinta kasih.^_^
0 komentar:
Post a Comment
Alangkah berbudinya anda, jika sedikit meninggalkan pesan untuk saya...