Saturday 30 July 2011

Hadist Shahih pun diputar-putar sama Wahabi

Pulang dari Umroh bulan Rajab, Dullah  ke pesantren  dengan membawa kitab-kitab  pesanan Guru Sufi yang dibelinya di Makkah, Madinah  dan Beirut. Kitab-kitab  pesanan  Guru Sufi   itu,  dianggap  aneh oleh Dullah, karena semuanya sudah ada di pesantren seperti kitab  Shahih  Bukhari, Shahih Muslim, Musnad Ahmad, al-Adzkar-nya Imam Nawawi, Diwan Al-Imam Asy-Syafi’i, Tafsir Ruh Al-Ma’ani-nya  Syaikh Mahmud al-Alusi. Sepanjang  perjalanan dari rumahnya ke pesantren, ia terus bertanya dalam hati tentang  pesanan  Guru Sufi atas  kitab-kitab yang sudah ada di pesantren dan sering dijadikan  acuan bagi pokok bahasan yang dibincang.
            Di teras musholla, ternyata Dullah sudah melihat Guru Sufi duduk dikelilingi Sufi Sudrun, Sufi tua, Sufi Jadzab, Sufi Kenthir, Sufi Majnun, dan Sukiran. Pada saat Dullah memberikan kitab-kitab yang dikemas dalam kotak kardus itu kepada Guru Sufi, ia terkejut ketika tanpa disangka-sangka Sufi Jadzab berteriak keras,”Awas Kitab palsu! Waspadah! Awas  kitab palsu bikinan badui bejat!”
            Dullah celingukan seperti kera sirkus salah masuk kandang. Ia tidak tahu apa maksud Sufi Jadzab meneriakkan kata-kata tentang kitab palsu, padahal ia sedang memberikan kitab-kitab pesanan Guru Sufi. Apakah Sufi Jadzab menuduh kitab-kitab yang dibelinya sebagai kitab palsu? Atau jangan-jangan kitab yang dibelinya memang palsu?
            Guru Sufi ketawa melihat Dullah salah tingkah. Setelah saling bersalaman dan berpelukan serta mengucapkan salam dan doa, Guru Sufi memberitahu Dullah bahwa kitab-kitab yang dibelinya itu ditengarai berisi kepalsuan yang disengaja. Sufi Jadzab, kata Guru Sufi, secara ruhani ternyata sudah  menangkap kepalsuan-kepalsuan yang terdapat di dalam kitab-kitab tersebut meski belum membacanya. Guru Sufi memberi isyarat kepada Sufi Sudrun yang membawa kitab Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari karya Ibnu Hajar al-Asqalani  milik pesantren untuk mendekat. Begitu juga Sufi Kenthir yang membawa Shahih Muslim dan Musna Ahmad untuk mendekat. Guru Sufi sendiri meletakkan kitab al-Adzkar Imam Nawawi dan Diwan al-Imam Asy-Syafi’i serta tafsir Ruh al-Ma’ani Syaikh Mahmud al-Alusi dan sebuah kitab yang diletakkan di samping kirinya.
            Sufi Majnun  dengan gerakan cepat mendekat dan mengambil kitab Shahih Bukhari dari dalam kotak kardus. Kemudian dengan cepat  ia membandingkan isi Shahih Bukhari yang dibawanya dengan isi Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari yang dibaca Sufi Sudrun. Lalu dalam hitungan satu menit, Sufi Majnun berteriak,”Laknatullah, Pasal Al-Ma’rifah bab al-Mazhalim tidak ada di sini. Sengaja dihapus. Kalimat-kalimat juga banyak dihilangkan mulai kata  pendek seperti “qaulahu: ‘asaathiir”, “qaulahu: yalqii Ibrahiim ‘abaahu  ‘Azhar” hingga nama penutur hadits seperti “qaulahu : ‘ala rqam anfa Abi Dzaar”, “qaulahu: wa al-Harts”, “qaulahu: Nuaim bin Abdullah”, waduh banyak sekali yang dihapus.”
            Setelah meletakkan Shahih Bukhari, Sufi Majnun mengambil hadits Shahih Muslim dan membacanya untuk  dibandingkan dengan bacaan Shahih Muslim Sufi Kenthir. Ternyata, dalam bab Fadhail Khadijah – Keutamaan-keutamaan Khadijah r.a. – terjadi keanehan dari hadits Shahih Muslim yang dibaca Sufi Majnun. Dikatakan aneh, sebab dalam bab fadhail Khadijah itu tidak terdapat satu pun bahasan tentang keutamaan Khadijah sebagaimana terdapat pada Shahih Muslim terbitan lawas. Alih-alih dalam bab Fadhail Khadijah itu tidak terdapat hadits tentang Khadijah, justru yang muncul nama Maryam binti Imran, Asiyah isteri Fir’aun dan Aisyah binti Abu Bakar. “Wah orang-orang badui  goblok itu tidak cermat menghapus hadits. Harusnya, bab fadhail Khadijah dihapus jika hadits yang membahas keutamaan Khadijah dihapus. Ini judulnya tidak dihapus tapi isinya dihapus. Jadi pembaca yang paling bodoh sekali pun akan tahu bagaimana gobloknya badui,” kata Sufi Majnun.
            “Wahahaha, aku usul,” kata Sufi Jadzab dengan suara tinggi,”Hadits Qudsy tentang Sifat Nabi Saw dalam taubat diganti saja menjadi Sifat Musailammah LMQIJ  (la’natullah minal qubr ila al-jahannam)   dalam menipu umat. Hadits bab Balasan Memusuhi Wali-wali Allah diganti menjadi bab balasan Iblis kepada kaum yang memusuhi badui-badui penipu!”
            Para sufi ketawa. Tapi Guru Sufi tiba-tiba melafazkan hadits Imam Ahmad dari kitab Musnad tentang muakhat riwayat Hudzaifah ibnu al-Yiman tentang Nabi Saw yang mempersaudarakan antara Muhajirin dan Anshar. Nabi Saw juga mempersaudarakan antara seseorang dengan sesamanya yang sederajat, kemudian Nabi Saw mengangkat tangan Ali bin Abi Thalib r.a dan berkata,”Ini adalah saudaraku!” Usai melafazkan hadits itu, Guru Sufi diam. Matanya memandang ke arah Sufi Majnun yang membolak-balik halaman kitab Musnad tapi tidak menemukan hadits yang dilafazkan Guru Sufi.
            “Sudah tidak usah dicari,” kata Guru Sufi,”Hadits itu sudah dihilangkan.”
            “Wah kalau orang sudah menghalalkan semua cara untuk membenarkan agamanya, termasuk memutar-balik dan menghilangkan hadits-hadits, pastilah bukan orang benar. Akhlak itu pasti akhlak penjahat akhlak penipu dan pendusta seperti Musailammah Al-Badui Al-Najdi Al-Kadzab,” kata Sufi Majnun geleng-geleng kepala.
            Guru Sufi tiba-tiba mendendangkan syair dari Diwan al-Imam asy-Syafi’i yang makna terjemahannya:
Jadilah fakih dan sufi sekaligus/
jangan hanya salah-satunya/
Sungguh demi Allah/
aku  ingin memberi nasehat kepadamu.
               “Waduh guru,” seru Sufi Majnun keras,”Bagian itu hilang di buku yang dibeli Dullah di Makkah. Ini kesengajaan yang benar-benar goblok. Karena kitab-kitab Diwan terbitan Beirut dan Kairo, tidak menghapus bagian itu.”
            “Coba kalian baca kitab al-Adzkar Imam Nawawi!” kata Guru Sufi.
            Sufi Majnun dan Sufi Kenthir berlomba membaca al-Adzkar.  Pada saat membaca bab haji tentang anjuran (istihbab) berziarah ke makam Rasulullah Saw, kedua tiba-tiba berhenti. Sebab pada kitab al-Adzkar yang dibaca Sufi Majnun, bunyi pasalnya bukan ‘ziarah ke makam Nabi Saw’ tetapi berubah menjadi ‘pasal tentang ziarah ke masjid Nabi Saw. “He bagaimana ini, ziarah ke makam kok diubah menjadi ziarah ke masjid?” gumam Sufi Majnun mendecakkan mulut.
            “Coba kalian baca tentang al-Utbiy!” kata Guru Sufi.
            Membolak-balik halaman untuk mencari bagian al-Utbiy selama beberapa menit, Sufi Majnun tidak menemukannya. Sufi Kenthir kemudian membaca tentang al-Utbiy – guru Imam Asy-Syafi’i – yang pernah menyaksikan seorang Arab badui berziarah dan bertawassul kepada Nabi Saw. Al-Utbiy bermimpi ketemu Rasul Saw di mana dalam mimpi itu Rasul Saw menyuruh al-Utbiy untuk memberitahu kepada badui itu bahwa ia diampuni Allah berkat ziarah dan tawassulnya kepada Rasul Saw itu. “Wah wah, kitab di Makkah dan Madinah ternyata sudah dimanipulasi semua oleh badui,” seru Sufi Majnun melemparkan kitab al-Adzkar yang dibeli Dullah di Makkah.
            “Maaf Mbah Kyai,” sahut Dullah yang sejak mula hanya diam kebingungan,”Apakah semua kitab yang dipesan Mbah Kyai itu memang sudah dipermak sedemikian rupa oleh kaum badui beragama Wahafi-Salabi sehingga berubah isinya?”
            “Ya benar itu,” sahut Guru Sufi mengangkat sebuah kitab ke atas ,”Aku ingin membuktikan kebenaran sebagian isi kitab ini!”
            “Itu kitab apa, Mbah Kyai?” tanya Dullah ingin tahu.
            “Ini kitab tulisan Syaikh Idahram yang mengungkap kebohongan publik penganut Salafi-Wahabi dalam memalsukan kitab-kitab ulama klasik,” kata Guru Sufi.
            “Ooo Salafi-Wahabi memalsu kitab-kitab kuning klasik, toh Mbah Kyai?” gumam Dullah.
            “Hemmm!” kata Guru Sufi memberikan buku itu kepada Dullah,”Bacalah! Moga engkau akan lebih faham siapa sejatinya orang-orang yang dimurkai dan disesatkan Allah!”
(Agus Sunyoto)

0 komentar:

Post a Comment

Alangkah berbudinya anda, jika sedikit meninggalkan pesan untuk saya...