Monday 1 August 2011

Cerita “ke-aku-an” sebagai hijab diri .......

Abu Zhulmi adalah seorang guru sufi yang tergabung dalam persaudaraan para sufi di kota Bistam. Ia memiliki banyak pengikut. Ia beserta teman-temannya dengan khusyuk selalu mengikuti ceramah yang disampaikan Abu Yazid Al-Bistami.
            Tercekam oleh paparan Abu Yazid tentang ma’rifat, suatu hari Abu Zhulmi menemui Abu Yazid dan berkata,”Wahai guru, hari ini genap 30 tahun aku berpuasa. Setiap malam aku tidak pernah tidur karena shalat tak terputus. Tetapi, guru, aku belum menemukan diriku untuk bisa mencapai ma’rifat yang engkau sampaikan itu. Padahal, untuk mencapai ma’rifat, aku telah bertahun-tahun setia mengikuti ceramah-ceramah yang engkau sampaikan.”
            Abu Yazid menyahut,”Sekalipun tujuh puluh tahun lagi engkau berpuasa dan shalat sepanjang malam, engkau tidak akan pernah memahami sedikit pun pelajaran yang aku sampaikan.”
            “Mengapa demikian, guru?” tanya Abu Zhulmi.
            “Karena engkau terhijab oleh dirimu sendiri,” sahut Abu Yazid.
            “Adakah cara yang bisa kuperoleh untuk membuka hijab itu?” tanya Abu Zhulmi.
            “Engkau tidak akan pernah mendapatkannya,” jawab Abu Yazid.
            “Aku akan bisa mendapatkannya,” sahut Abu Zhulmi bersemangat,”Asalkan engkau memberitahu aku bagaimana aku mencarinya.”
           “Baiklah,” sahut Abu Yazid,”Sekarang juga pergi dan cukurlah rambut dan janggutmu. Lepas pakaian yang kau kenakan. Ganti dengan pakaian dari bahan karung sebatas pinggangmu. Gantung sebuah tas berisi biji kenari di lehermu lalu pergilah ke pasar. Kumpulkan anak-anak dan katakan kepada mereka “aku akan memberi biji kenari kepada siapa saja yang menampar kepalaku. Berkelilinglah engkau ke segenap penjuru kota untuk melakukan hal yang sama, terutama di tempat-tempat orang yang mengenalmu. Itulah caramu menemukan pembuka hijab dirimu.”
          “Allahu Akbar, semua kebesaran milik Allah! Laailaha ilallah,” seru Abu Zhulmi setelah mendengar penjelasan Abu Yazid.
             “Ketahuilah, andaikata orang kafir mengucapkan kata-kata yang baru saja engkau ucapkan, dia pasti menjadi seorang yang beriman,” sahut Abu Yazid menyahuti,”Tetapi dengan mengucapkan kata-kata itu, engkau justru telah menjadi orang musyrik.”
             “Mengapa begitu, guru?” sergah Abu Zhulmi memprotes.
             “Karena engkau telah menganggap dirimu sendiri terlalu mulia untuk sanggup melaksanakan kata-kataku,” kata Abu Yazid menjelaskan,”Karena itu, engkau menjadi musyrik. Engkau ucapkan kata-katamu itu untuk mengungkapkan kepentinganmu sendiri, dan sekali-kali bukan untuk dan demi mengagungkan Allah.”
           “Terus terang, aku tidak sanggup menjalankan hal itu,” kata Abu Zhulmi mengajukan usulan,”Berikan aku syarat yang lain saja.”
            “Syarat termudah adalah apa yang telah aku sebutkan tadi,” sahut Abu Yazid.
             “Aku tidak dapat melaksanakannya,” sahut Abu Zhulmi dengan nada tinggi.
              “Bukankah telah aku katakan bahwa engkau tidak akan pernah mendapatkan cara membuka hijab, karena engkau terhijab oleh ke-aku-anmu sendiri,” ujar Abu Yazid Al-Bistami pergi meninggalkan Abu Zhulmi yang bersungut-sungut hatinya diliputi kedongkolan.
                                                                                         * * *
              Setelah meninggalkan jabatan guru besar di Universitas Nizhamiyyah Baghdad, Al-Ghazaly berguru kepada seorang sufi yang menutupi jati diri sebagai seorang pen jahit pakaian. Pelajaran pertama yang diberikan sufi penjahit kepada Al-Ghazaly adalah perintah ‘membersihkan pasar’ sampai sebersih-bersihnya.
               Sebagai seorang guru besar yang termasyhur dan dihormati di kampus maupun di dunia Islam yang mendapat gelar kebesaran Hujatul Islam, Al-Ghazaly sangat tertekan menjalankan pelajaran pertama yang tidak masuk akal itu. Tapi kepatuhan membuatnya dengan terpaksa menyapu pasar sewaktu kegiatan pasar telah selesai. Itupun Al-Ghazaly menutupi diri dari kepala sampai kaki dengan mengenakan jubah berkerudung dan wajah ditutupi cadar.
               Setelah merasa bahwa pasar yang disapunya telah bersih, Al-Ghazaly menghadap sufi penjahit dan melaporkan hasil kerjanya. Tapi dengan isyarat sufi penjahit berkata,”Belum bersih. Harus diulangi lagi sampai bersih.”
               Esok hari, Al-Ghazaly mengulangi lagi pekerjaannya sampai sore hari dengan tidak meninggalkan sekeping pun bekas sampah di pasar. Namun saat menghadap sufi penjahit, lagi-lagi dijawab bahwa pasar belum lagi bersih. Lalu dengan bahasa isyarat, sufi penjahit memberitahu bahwa yang dimaksud ‘pasar’ dalam perintahnya itu adalah ‘pasar’ di dalam diri.
               Sadar bahwa yang dimaksud sufi penjahit adalah sebuah usaha ‘pembersihan diri’, Al-Ghazaly esok hari kembali ke pasar dengan pakaian biasa tanpa penutup kepala dan tanpa cadar. Tak perduli dilihat orang-orang yang terheran-heran, Al-Ghazaly menyapu pasar sambil membaca khasidah pepujian kepada Nabi Muhammad Saw. Lalu orang-orang berkerumun, membicarakan sang guru besar yang secara tiba-tiba telah menjadi orang gila. Setiap orang yang melihat Al-Ghazaly menyapu pasar dan mengumpulkan sampah ke dalam keranjang, menyatakan iba hati dan bahkan ada yang menangis dengan nasib malang Hujatul Islam tersebut.
                  Sore hari setelah pasar sepi, Al-Ghazaly menghadap sufi penjahit dan melaporkan apa yang sudah dilakukannya sepanjang siang itu. Sufi penjahit menyambut gembira dan menyatakan bahwa Al-Ghazaly telah lulus pelajaran itu. Al-Ghazaly kemudian meneruskan pelajaran lanjutan dengan pergi ke Damaskus untuk iktikaf di menara masjid selama empatpuluh hari yang membawanya kepada ma’rifat dan memasukkannya ke dalam jajaran wali-wali Allah. Demikianlah, pelajaran ‘membersihkan diri’ berhasil dilewati Al-Ghazaly dengan gemilang yang membawanya kepada ma’rifat, tetapi sebaliknya tidak berhasil dilewati oleh Abu Zhulmi yang mengaku murid Abu Yazid Al-Bistami.
                                                                                 * * *
               Ali Mutakabbir Al-‘Ujubi yang bersekolah selama 35 tahun dan kemudian mengajar di kampus selama delapan tahun, memperoleh gelar guru besar. Dalam pengukuhan guru besar, semua orang terkagum-kagum dengan tokoh yang memiliki nama lengkap Prof Dr Ir H Ali Mutakabbir Al-‘Ujubi, M.Sc, M.Hum itu. Pak Professor Ali tidak bisa menghitung berapa jumlah biaya yang sudah dikeluarkan orang tua maupun atas hasil usahanya sendiri selama menuntut ilmu di sekolah. Beliau juga tidak bisa menghitung betapa berat dan lamanya waktu yang telah digunakannya untuk memperoleh seperangkat gelar yang menempatkannya di puncak piramida kaum terdidik itu. Yang pasti, pak professor telah menjadi manusia berkedudukan tinggi jauh di atas dosen-dosen biasa apalagi dengan kedudukan karyawan-karyawan kampus seperti petugas absensi, satpam, tukang parkir, petugas kebersihan yang tidak punya gelar.
             Ketika memasuki usia pensiun, Prof Dr Ir H Ali Mutakabbir Al-‘Ujubi, M.Sc, M.Hum menghadap Guru Sufi minta agar diajari cara singkat untuk mencapai ma’rifat. Sebab sebagai ilmuwan dengan sederet gelar, Pak Professor Ali merasa akan mudah menjalani laku tasawuf yang dianggapnya sangat sederhana. Namun saat Guru Sufi memberitahu bahwa syarat utama yang wajib dipenuhi oleh orang seorang untuk memulai laku tasawuf adalah melepaskan ‘ke-aku-an’ dari diri sendiri sampai orang seorang menjadi ‘manusia’ berkedudukan ‘bayi’ yang tidak mengenal perbedaan ke-aku-an manusia satu dengan manusia yang lain dalam kedudukan kemasyarakatan, Pak Professor Ali mengerutkan kening dan kemudian bertanya,”Apakah Pak Kyai nanti akan meminta saya mengaji bareng-bareng dengan orang-orang awam dari kampung?”
             “Bukan hanya itu, professor,” sahut Guru Sufi menjelaskan,”Bapak professor  harus menjalankan suluk bersama-sama dengan satpam, tukang parkir, petugas kebersihan dari kampus bapak yang menjalani laku suluk di sini.”
           “Apa?” sahut Professor Ali terkejut,”Bagaimana mungkin itu bisa saya jalankan?”
            Guru Sufi mengangkat bahu  sambil menggumam,”Itu memang prasyarat awal kalau mau memasuki dunia sufi. Bagi orang yang ke-aku-an dirinya sudah sangat berkuasa karena diselubungi gelar-gelar kebesaran duniawi, silahkan mempelajari ilmu pengetahuan yang lain selain tasawuf.”
           Prof Dr Ir H Ali Mutakabbir Al-‘Ujubi, M.Sc, M.Hum dengan bersungut-sungut meninggalkan pesantren sufi. Ia tahu pasti, bahwa prasyarat yang diajukan Guru Sufi tidaklah mungkin bisa dipenuhinya. Bagaimana mungkin, kemuliaan dan kehormatan diri yang telah diperolehnya dengan susah-payah selama berpuluh-puluh tahun itu akan dibuang begitu saja untuk sekedar mengikuti ilmu pengetahuan aneh yang mansyaratkan kefakiran sebagai landasan utamanya. Jika aku menjalani laku seperti petunjuk  Abu Yazid Al-Bistami atau Al-Ghazaly dengan melakukan tindakan konyol, kata Prof Dr Ir H Ali Mutakabbir Al-‘Ujubi, M.Sc, M.Hum dalam hati, apa kata dunia nanti?
.......AS.......

0 komentar:

Post a Comment

Alangkah berbudinya anda, jika sedikit meninggalkan pesan untuk saya...