Ini adalah tentang perjalananku, perjalanan dari ketidaksadaranku dalam keadaan menuju kesadaranku dalam ketiadaan. Kini aku merasa berdiri dipintu besar dari rumah tak berpenghuni, aku menyadari tak sesuatupun didalam rumah besar itu atau bahkan kesadaranku hanya ada pintu itu tak ada rumah atau ruang apapun dibaliknya namun aku tak mau beranjak pergi dari sini karena aku menduga akan ada seseorang yang akan membukakan pintu itu dari dalam sana entah siapa. Setelah disini aku hampir-hampir lupa bagaimana aku menempuh perjalanan ini hingga tersimpuh didepan pintu ini, mataku telah tertutup dari apapun selainNya sedang segala hijab tak kutemukan lagi dihadapanku, namun aku bukan pula orang yang merdeka.
Aku ingat seorang sahabat ketika itu bertanya padaku,’dari apakah Allah menciptakan semesta alam ini? Sedang sebelum adanya semesta ini hanya ada Dia, tak ada sesuatupun selainNya’. Lantang aku jawab ketika itu,’Hanya Allah-lah yang Maha Tahu sedang Dia mengetahui hal-hal ghaib yang tidak aku ketahui, dan pernah kudengar cukup Dia berkata ‘KUN FAYAKUN’ maka jadilah, itulah ke-Maha BesaranNya yang tak tersentuh oleh akalku’. Itulah awalku merasa bangga dengan ilmu yang kumiliki, sedang aku sendiri –ketika itu- tahu secara pasti bahwa aku sendiripun tak tahu benar tidaknya jawabanku itu, dan hanya itu kata yang kumengerti untuk membantah sesuatu yang aku sendiri tidak memahaminya. Kemudian atas pertanyaan indah yang aku tak memahami itu, kumulai larutku dalam buku-buku tentang pecinta. Aku begitu kagum ketika seorang guru besar bernama Rumi meninggalkan pengajarannya untuk berlepas dari kehidupan mewahnya dan mabuk dalam cinta Ilahiyah yang tak seorangpun mampu menyentuhnya ketika itu. Aku begitu kagum dengan kemerdekaan Shams, yang dari balik baju lusuhnya menarik guru besar itu kedalam pelukannya dan membawa Rumi melayang, melesat menuju keabadian. Itulah dua pecinta yang mengajariku untuk tidak berkata,’bukan begitu seharusnya’. Ketika apapun yang tergelincir dari mulut manis Shams yang diluar dari kebiasaan anak manusia menunjukan sesuatu dari apa yang tidak diketahui oleh Rumi, Rumi seorang Guru Besar Kota Konya, seperti seorang bayi kecil lapar yang menunggu suapan dari ibunya.Sedang dia seperti itu, bagaimana aku yang sebelum ini tak mengerti apapun akan mengatakan ,’bukan begitu seharusnya’, sedang aku tak menemukan kebenaran sejati dari kebiasaan anak manusia.
Dan aku tetap melarutkan diri dalam buku-buku yang begitu mudah aku memahami maksudnya, tanpa sedikitpun aku dapat mengingat tiap bait kata dari buku-buku itu, namun semua hal begitu mudah merubah cara pandnangku. Lalu Tuhan mengijinkanku mengecap hal-hal yang sangat kubenci sebelumnya. Tuhan benar-benar memiliki kesempurnaan dengan menempatkanku pada kebencian demi kebencian itu. Dan kusadari kini Tuhan hendak menutupi apa yang diberikanNya padaku dengan masa itu. Itu satu keindahan lain yang aku syukuri. Dari kecapanku itu Tuhan mengajariku untuk lebih mendengarkan dari pada melihat tebasan demi tebasan bibir yang dipenuhi racun. Itu satu kesadaran lain bahwa Tuhan tidak menutupi apa yang diberikan kepada seorang hamba dari hamba lain, akan tetapi lebih kepada seorang hamba lah yang membangun tembok tinggi dan kokoh dihadapannya dari melihat apa yang dimiliki oleh yang lain. Apa yang aku katakan ini adalah tentang apa yang kamu pahami bukan tentang hal yang lain, peganglah itu.
Kemudian dari perjalananku yang terpandang keluar dari jalur kebaikan itu, Tuhan kembali memperlihatkan kesejatian kebenaran yang seharusnya kucari. Katanya lembut,’Ini bukan tentang mata lahirmu, ini tentang apa yang tersembunyi didalam hatimu, itu yang kuingin darimu’. ‘Ini tentangku Yang Maha Suci, bersucilah, maka akan kukecup bibir hatimu’. Lalu aku bersuci, jawabnya,’Apa yang kau sucikan? Pergilah dengan mereka yang merasa suci, karena aku tak menginginkan kesucian itu darimu’. Aku menyesali diri karena kebodohanku, Tuhan begitu benar ketika Dia mengatakan tentang kesucianku, aku malu, berjuta malu. Lalu Tuhan memperlihatkanku air sucinya untuk membasuh wajahku, wajah hatiku, setelahnya Dia memeluk hangat dan mesra diriku, itu mabukku berikutnya.
Lalu Dia menarik keras tanganku untuk menari dialtar cintaNya, karena tak kuasaku aku mengikutiNya, Dia hempaskan aku, lalu menariku lekat dalam tarian kemabukan itu, Dia rengkuh aku dan dibisikan lembutNya,’Aku dan kau satu, karena itu jangan duakan aku dengan menganggapku ada’. Dengan cintaku kuikuti itu dan hanya ada aku dalam tarian senyap sendiriku, aku menceritakan semua hal padaku dalam kesendirian, karena hanya ada aku. Lalu aku melihat cahaya dan itu biasku sendiri, itu cahaya awalku yang dekat dengan diriku, lebih dekat dari urat leherku.
Dari sisi waktu aku kembali berjalan, gumamku,’Aku miskin ketika mulai perjalanan ini, dan kini aku telah kaya dengan semesta ini’, Aku telah membawa kunci-kunci semesta, namun tak kudapati kunci untuk membuka pintu yang aku bersimpuh didepannya kini. Aku belumlah merdeka.
0 komentar:
Post a Comment
Alangkah berbudinya anda, jika sedikit meninggalkan pesan untuk saya...