Monday, 8 November 2010

Kota - Kota Jiwa

Ketika aku mengembara didunia fana ini, Allah menunjukiku jalan yang lurus. Ketika menelusuri jalan itu diantara tertidur dan terjaga, seolaholah di dalam mimpi, aku tiba disebuah kota yang diselimuti kegelapan. Gelap itu sangat pekat, sehingga aku tidak dapat melihat atau memperkirakan batasnya. Kota ini berisi segala yang diciptakan. Ada banyak orang dari berbagai bangsa dan suku. Begitu sesaknya jalanjalan, orang sulit berjalan. Begitu gaduhnya, sehingga orang sulit mendengarkan ucapan orang lain. Semua perbuatan buruk dari semua mahluk, semua dosa yang kuketahui maupun yang tidak kuketahui, mengelilingi aku. Dalam rasa takjub dan kagum, aku menyaksikan pemandangan aneh.

Nun jauh disana, dibagian tengah kota ini, ada kota lain, dengan dinding yang tinggi besar.

Apa yang kusaksikan di sekelilingku membuatku berpikir bahwa sejak mulanya, tidak pernah ada sinar dari cahaya matahari kebenaran yang menerangi kota ini. Tidak hanya langit, lorong lorong dan rumahrumah dikota ini yang berada dalam gelap gulita, tetapi para penduduknya bagaikan kelelawa, mempunyai pikiran dan matahati sepekat malam. Sifat dan perbuatan mereka laksana anjinganjing liar. Saling menyalak dan menggigit satu sama lain. Kesenangan mereka adalah minum Khamr, dan berhubungan seks tanpa rasa malu, tanpa membedakan pria dan wanita, istri dan suami, dan sebagainya. Berdusta, menipu, mengumpat, memfitnah dan mencuri menjadi kebiasaan mereka tanpa rasa peduli kepada yang lain, sadar atau takut kepada Allah. Banyak dari mereka yang mengaku muslim. Sebenarnya, sebagian diantara mereka dianggap sebagai orang bijak-para syeikh, guru, ulama dan da'i.

Sebagian mereka yang mengetahui perintahperintah Allah, tentang yang baik dan halal dalam pandangan Allah, dan mengenai apa yang diharamkan Allah, berupaya mengatasi hal itu dan menemukan kepuasan didalamnya dan tak lagi berhubungan dengan penduduk kota itu. Para penduduk kota tidak bersikap ramah terhadap mereka. Aku dengar mereka berlindung didalam kota berdinding yang kulihat berada dibagian tengah alam ini.

Aku tinggal dibagian luar kota ini untuk beberapa saat. Selama waktu itu, aku bertemu dengan seseorang yang mendengarkan aku dan memahami apa yang aku katakana. Dia member tahu aku bahwa dia adalah Ammarah, kota yang angkuh, kota kebebasan, diamana setiap orang mengerjakan apa yang membuatnya senang. Aku bertanya mengenai keadaan mereka. Dikatakannya bahwa itulah kota tempat bersenangsenang, yang bersumber dari sikap lalai dan alpa. Dalam kegelapan yang menyelimutinya, masingmasing mengira bahwa dialah satusatunya orang. Aku bertanya kepadanya mengenai nama pemimpin mereka. Dia memberitahukan aku bahwa nama pemimpin itu adalah ‘Aql al-Ma’asy. Dia adalah ahli nujum, dukun, pengatur yang mengatur segala sesuatu, dokter yang menyembuhkan orang yang nyaris mati, raja berilmu yang tiada bandingannya didunia ini. Para penasihat dan mentrinya disebut Logika. Putusannya ditetapkan atas dasar hukum akal sehat kuno. Pelayannya disebut imajinasi dan anganangan. Dia mengatakan bahwa semua penduduk setia kepada pemimpin mereka. Tidak hanya mengormati dia dan pemerintahannya, tetapi juga mencintainya, karena mereka semua merasa memiliki kesamaan dengannya dalam sifat kebiasaan dan perilaku.

Aku, yang memiliki pemikiran yang sama, dan dengannya mengetahui bahwa guru yang sempurna dari semua ilmu didunia ini, ingin mempelajari ilmuilmu itu untuk menjadi kaya dan terkenal. Aku pelajari ilmuilmu itu untuk menjadi kaya dan terkenal. Aku tinggal untuk beberapa waktu melayani si raja dan belajar darinya mengenai banyak hal yang mencerdaskan. Aku belajar perdagangan, politik, ilmuilmu kemiliteran, pertukangan, hokum, dan seni untuk menghormati manusia. Aku menjadi termasyhur. Ketika orangorang menunjuk aku dan berbicara tentang diriku, egoku merasa senang. Karena semua bagi diriku sepenuhnya berada dibawah pengaruh-duniawiku, semua itu mendapatkan tenaga untuk menyenangkan egoku dan ingin cepatcepat menghabiskan tenaga itu untuk mendapatkan kesenangankesenangan duniawi dan hasrathasrat birahi, tanpa peduli apakah semua itu melukai orang lain, atau bahkan diriku sendiri.

Ada sesuatu di dalam diriku yang kadang kala menunjukan bahwa semua ini keliru, tetapi aku tidak mempunyai daya dan kemampuan untuk mencegahnya. Bagian diriku yang insaf itu disakiti, dan ingin keluar dari gelapnya kota ini. Suatu hari, ketika rasa sakit itu kian parah, aku pergi menemui guruku, sang raja, dan dengan tanpa rasa takut aku bertanya,’Mengapa para ilmuwan dialam kamu tidak pernah mengamalkan ilmu mereka dan takut kepada allah? Mengapa tak seorangpun dikota ini yang takut kepada azab Allah, padahal mereka takut terhadap hukumanmu? Mengapa tidak ada cahaya disini, diluar atau didalam hati masyarakat? Bagaimana ucapanmu yang terlihat seperti manusia, tetapi tak ubahnya binatang buas dan jahat?’.

Dia menjawab,’Akulah-orang yang sangat mencari kuntungan pribadi didunia ini, meskipun keuntunganku adalah kerugian bagi mereka-yang mereka teladani. Aku mempunyai wakil ditengahtengah mereka. Merekalah pelayanku dan wakilwakilku. Tetapi akun juga punya guru yang membimbingku: setan. Tak seorangpun disini yang mampu mengubah jalannya, dan semua senang dan mengiradiri mereka lebih baik dari yang lain. Tak ada yang akan berubah dan karena itu, mereka tidak akan berubah’.

Tatkala kudengar itu, aku ingin meninggalkan kota itu dan melarikan diri. Tetapi karena mngetahui kekuatan raja dan kekuasaannya atas segala sesuatu, aku meminta izindarinya untuk pergi.’Wahai bagindaku yang perkasa’, kataku,’ Engkau telah banyak berbuat bagi hambamu yang hina ini dan telah memberiku semua yang kumiliki. Betapa senangnya hidup di bawah pemerintahanmu! Kau berikan aku pakaian mewah, kau berikan teman bersenangsenang dan bermain. Minuman keras dan judi tak kau larang. Telah aku rasakan semua kesenangan, dan telah kuterima semua bagianku. Tidakkah engkau tahu bahwa kedatanganku ke kota ini sebagai musafir? Izinkan aku pergi keistana besar itu yang aku lihat di tengahtengah kotamu.’

Raja itu mengatakan,’ Aku juga penguasa istana itu. Kawasan itu disebut Lawwamah, menyalahkan diri sendiri, tetapi penduduknya berbeda dengan kami yang ada disini. Dikota kami yang durhaka ini, sesembahan kami adalah setan. Dia ataupun aku tidak menyalahkan mereka atas apa yang mereka lakukan. Oleh karena itu, tak ada yang menyesali apa yang mereka kerjakan, karena kami hidup didalam khayalan. Dikota Lawwamah, Imajinasi tidak mempunyai kekuatan penuh. Mereka juga berbuat dosa-mereka berzina, mereka puaskan birahi mereka dengan kaum pria dan wanita, mereka minumminuman keras dan berjudi, mencuri dan membunuh, bergunjing dan memfitnah seperti yang kami lakukan_tetapi mereka sering merenungkan apa yang telah mereka perbuat, menyesal dan bertobat’.

Segera setelah aku berbicara dengan guruku, Kecerdasan, aku berlari kegerbang kota Lawwamah. Didepan gerbangnya tertulis al-ta’ib min al-dzanb lahu,’Orang yang bertobat dari dosa seperti orang yang tak berbuat dosa’.

Kubuka pintu gerbang dengan bertobat atas dosadosaku, dan masuk kedalam kota itu.

Kulihat kota itu memiliki penduduk yang jauh lebih sedikit dibandingkan kota kegelapan yang telah pernah aku singgahi. Dapat kukatakan bahwa penduduknya hanyalah separuh dari kota yang telah aku tiinggalkan itu.

Setelah aku menetap didalam selama beberapa wakt, aku berjumpa dengan seorang alim yang mengenal dan menguasai kitab suci Al-Qur’an. Aku mengunjunginya dan mengucapkan salam padanya. Dia menjawab salamku dan mendo’akan aku. Meskipun telah dikatakan kepadaku oleh penguasa kota kegelapan bahwa dia juga berkuasa disini, namun aku tetap menanyakan kepadda guruku ihwal nama pemimpin kota mereka. Dia menegaskan bahwa mereka berada dibawah pemerintahan akal, tetapi mereka mempunyai administrator sendiri yang bernama arogansi, kemunafikan, keras kepala, dan fanatisme.

Di kalangan penduduk banyak terdapat ilmuwan, sebagaian besar mereka tampaknya bijaksana, tekun, saleh dan baik. Aku bersahabat dengan mereka dan mengetahui bahwa mereka menderita penyakit arogansi, egoisme, dengki, ambisi, keras kepala, dan dalam bersahabat tidak jujur. Mereka saling bermusuhan dan saling menipu satu sama lain. Halpaling baik yang bias kukatakan mengenai mereka adalah mereka melaksanakan shalat dan berusaha mengikuti perintah Allah karena takut terhadap azab Allah dan neraka, dan mengharapkan kehidupan abadi dan bahagia didalam surga.

Aku bertanya kepada salah seorang dari mereka mengenai kota kegelapan yang ada diluar dinding pembatas itu, dan mengeluh tentang penduduknya. Dia mengiyakan keluhanku dan mengatakan bahwa penduduk kota itu terdiri dari kaum kafir yang merusak, durhaka dan gemar membunuh. Mereka tidak mempunyai iman dan tidak pernah melaksanakan shalat. Dikatakannya bahwa mereka pemabuk, pezina, pejantan. Mereka semuanya tak berkesadaran dan lalai. Tetapi, dari waktu ke waktu, melalui petunjuk yang misterius, mereka mengarah kepada kota lawwamah. Mereka kemudian menyadari apa yang telah mereka perbuat, menyesal, bertobat dan memohon ampunan. Dikota mereka, demikian dia mngatakan, mereka tidak mengetahui apa yang mereka lakukan. Akibatnya, mereka tidak pernah menyesal atau memohon ampunan. Oleh karena itu mereka tidak saling tolong menolong dan tak seorangpun yang membantu mereka.

Ketika pertama kali aku tiba dikota Lawwamah, kulihat ditengahtengahnya ada istana lain. Aku bertanya kepada salah seorang penduduknya yang berilmu mengenai hal itu. Dia mengatakan bahwa kota itu diberi nama Mulhimah, Kota Cinta dan Ilham. Aku bertanya mengenai pemimpinnya. Pemimpinnya bernama ‘Aql al-Ma’ad, Si Bijak, Yang Mengenal Allah. Raja ini, kata si informan itu, mempunyai seorang perdana menteri bernama Cinta.
‘Seandainya, ada seorang dari kami memasuki Kota Cinta dan Ilham,’ lanjutnya,’kami tidak akan menerimanya kembali dikota kami. Sebab, siapapun yang pergi kesana akan menjadi serupa dengan semua penduduk kota itu-semuanya tertarik kepada Perdana Menteri itu. Dia jatuh cinta kepadanya dan rela menyerahkan segalanya-semua yang dimilikinya harta, keluarga, anakanak, dan bahkan nyawanya-demi perdana menteri yang bernama Cinta itu. Sultan kami, Yang cerdas, memandang atribut ini sebagai hal yang sama sekali tidak dapat diterima. Dia mengkhawatirkan pengaruh orangorang yang mempunyai sifat ini, karena kesetiaan dan perbuatan mereka tampaknya tidak masuk akal dan tidak bias dipahami oleh pikiran sehat.

‘Kami mendengar bahwa penduduk kota itu berdoa kepada Allah seraya brsenandung dan bernyanyi, dengan diiringi seruling, tamborin dan drum, dan selama melakukan hal itu mereka kehilangan rasa dan masuk kedalam ekstase. Para pemimpin agama dan teolog kami memandang ini sebagai hal yang haram menurut kaidah ortodoks kami. Oleh karena itu, tak seorangpun dari mereka yang ingin bermimpi menginjakkan kakinya dikota cinta dan ilham’.

Tatkala kudengar hal itu, aku sangat ingin meninggalkan kota lawwamah, dan berlari kepinti gerbang kota cinta dan ilham yang penuh berkah itu. Dipintunya kubaca tulisan bab al-janat maktub: La ilaha illa Allah. Ku baca frasa la ila ha illa allah dengan suara keras-‘Tidak ada Tuhan kecuali Allah’-lalu bersujud dan memanjatkan syukur. Pada saat itulah pintu terbuka dan akupun masuk.

Tak lama berselang, kutemukan sebuah rumah kecil milik seorang fakir. Didalamnya kuihat orangorang berpangkat dengan rakyat jelata, kaya dan miskin, bergabung menjadi satu. Kulihat mereka saling mencintai, menghormati, tolong menolong satu sama lain dengan wajah yang senantiasa ceria. Mereka bercengkrama dan bernyanyi. Lagu dan ucapan mereka sangat menggugah, indah dan selalu mengenai Allah dan halhal yang bersifat spiritual. Tak ada rasa cemas dan penderitaan, seolaholah hidup didalam surga. Tak ku dengar atau kulihat apapun yang berkesan perselisihan atau pertengkaran yang menyakitkan atau melukai. Tak ada tipu daya, kejahatan, rasa dengki atau mengumpat. Aku tibatiba merasakan kedamaian, kebahagiaan dan kegembiraan berada ditengahtengah mereka.

Kulihat ada seorang tua yang tampan, kedewasaan dan kebijaksanaan memancar dari wajahnya. Aku tertarik kepadanya dan langsung mendatanginya seraya berkata,’Wahai sahabatku, aku adalah pengelana miskin dan sekaligus sakit. Aku mencari obat untuk menyembuhkan penyakit kegelapan dan kelalaianku. Adakah tabib dikota cinta dan ilham ini yang bias menyembuhkan diriku?’.

Orang itu terdiam untuk beberapa saat. Kutanyakan namanya. Dia mengatakan padaku, namanya adalah Hidayah, petunjuk. Lalu dia berkata,’nama panggilanku adalah kejujuran. Sejak azali tak ada satupun kata dusta yang keluar dari mulutku. Tugas dan kewajibanku adalah menunjukan jalan kepada orang yang benarbenar ingin menyatuu dengan Sang kekasih. Kepadamu kukatakan’,

Beribadahlah kepada tuhanmu sehingga datang kepadamu keyakinan (Q.S Al Hijr[15]: 99)

Sebutlah nama Tuhanmu dan beribadahlaj kepadaNya dengan penuh ketekunan(Q.S Al Muzammil[73] : 8]

‘Engkau juga pecinta yang tulus: ‘dengarkan aku dengan telinga hatimu’. Ada empat wilayah dikota cinta dan ilham ini yang harus kamu datangi. Keempat wilayah itu saling berjalin dan berkelidan.’

‘Bagian luarnya’, lanjutnya,’Disebut Muqallid, wilayah para pembebek. Tabib ahli yang kamu cari untuk menyembuhkan penyakitmu tidak ada di dalam wilayah itu. Juga tak ada kios obat yang menyediakan obatobatan bagi penyakit lalai, gelapnya hati dan kemusyrikan terselubung. Meskipun akan kau temukan banyak orang yang mengaku sebagai tabib penyakit hati-berpenampilan semacam itu, dengan mengenakan jubah, memakai serban besar; menyatakan diri sebagai orang bijak seraya menyembunyikan kebodohan, kebejatan moral dan perangai buruk mereka; tak mampu membuktikan apa yang mereka nyatakan; yang mencari ketenaran dan mengejarngejar dunia-mereka sendiri sebenarnya tengah menderita sakit. Mereka menyekutukan Allah dan menjadi guru karena membebek’.

‘Mereka,’ lanjutnya,’ sembunyikan tipu muslihat, kemunafikan maupun sifat dengki mereka. Mereka ceerdas, tangkas, ceria dan humoris. Messkipun tampaknya lidah mereka mengucapkanb doa dan namanama Allah dan kamu temukan mereka sering berada ditengahtengah para zahid, namun pikiran mereka yang mempengaruhi mereka, tidak mengantarkan mereka untuk menyaksijkan pengaruh dan manfaat do’a mereka. Oleh Karena itu, tak akan kamu dapati obat dari mereka untuk menyembuhkan penyakit kelalaian dan kealpaan’.

‘Anda harus meninggalkan wilayah para pembebek ini, dan menuju wilayah mujahid, wilayah para pejuang,’ tegas orang itu.

Kuturuti nasihat orang itu dan pergi kewilayah para pejuang. Orangorang yang kutemui disana terlihat lemah dan kurus, baik hati, penuh pertimbangan, bersyukur: tekun melaksanakan sholat, taat, berpuasa, bertafakur dan merenung. Kekuatan mereka terletak pada cara hidup yang selaras dengan pengetahuan mereka. Aku menjadi dekat dengan mereka dan memahami bahwa mereka telah meninggalkan semua sifat buruk yang bersumber dari egoisme, congkak, dan bayangbayang kelalaian. Mereka telah bersungguhsungguh menjadi hamba, ridha kepada Tuhan mereka dan menerima dengan ikhlas keadaan mereka. Aku tinggal diwilayah para pejuang itu selama bertahuntahun. Aku mengerjakan apa yang mereka kerjakan dan hidup seperti mereka, seraya mencermati bagaimana aku berbuat dan bagaimana aku hidup, dengan tak membiarkan sekejapun waktu berlalu dalam kelalaian. Aku belajar dan bersikap sabar dan tabah dan belajar meridhai nasibku dan ternyata aku ridha dan ikhlas.

Aku berusaha keras, siang dan malam, dengan egoku, tetapi aku masih berada dalam politeisme dengan begitu banyak ‘Aku’ dan pertempuran antara ‘aku-aku’ itu, meskipun semuanya berhadapan dengan satu Allah. Hal ini, yakni penyakit syirik kahfi-ku –yang membentuk banyak ‘aku’ sebagai sekutu Allah menjadi bayangbayang berat didalam hatiku, menyembunyikan kebenaran dan membuat aku tetap lalai.

Aku bertanya kepada tabibtabib diwilayah itu, seraya memohon kepada mereka. Kuceritakan penyakitku kepada mereka, kemusyrikan terselubung, sikap lalai yang parah, kegelapan hati dan meminta bantuan. Mereka berkata kepadaku,’ Bahkan ditempat orangorang yang berperang melawan ego mereka inipun, tak ada obat bagi penyakitmu, karena

‘Dia bersamamu dimanapun kamu berada’ (Q.S Al-hadid [57]: 4)

Kemudian mereka menasihati aku untuk pergi menuju istana Muthmainnah, Kota kedamaian dan ketenangan. Didekat istana itu terletak wilayah yang disebut Munajat wa muraqabah-berdoa dan merenung. Mungkin disana, kata mereka, ada seorang tabib yang bias menyembuhkan diriku.

Ketika aku tiba dikota Muraqabah, kulihat para penduduknya tenang dan damai, menyebut Allah dan membaca namanamaNya yang Indah. Masingmasing dari mereka mempunyai putra hati yang telah dilahirkan. Mereka berdiri, menundukan kepala dihadapan Tuhan mereka, diam, murung, bersedih, dalam sikap kerendahan hati. Meskipun paras lahir mereka terlihat hancur, rusak, namun hati mereka cemerlang dan bercahaya.

Cara hidup mereka baik dan terpuji. Mereka nyaris saling tidak berbicara satu sama lain karena takut mengusik perhatian seseorang dari Yang Esa yang kehadiranNya mereka alami sendiri, atau menghalangi orang lain dari melakukan perenungan yang mendalam. Cahaya bagaikan kehormatan bagi mereka, namun mereka sangat takut menjadi beban orang lain.

Kuhabiskan waktu bertahuntahun diwilyah tafakur dan perenungan ini. Saya mengerjakan apa yang mereka kerjakan, dan sesungguhnya kukira aku akhirnya sembuh dari kelalaian, kemusyrikan dan kealpaan. Tetapi, aku belum tersembuhkan dari dualisme terselubung antara’aku’ dan ‘dia’ yang tetap menjadi beban berat dalam hatiku.

Air mataku mengucur deras. Dengan penuh takjub, aku terperosok kedalam keadaan aneh ketika samudra kesedihan melingkupiku. Aku ingin tenggelam dilautan itu. Tak kutemukan jalan lain kecuali kematian. Tetapi, aku tak dapat berbuat apaapa, aku tidak memiliki kehendak, bahkan kehendak untuk mati.

Ketika aku berdiri disana tanpa daya, sedih, dalam keadaan ekstase, munculah siguru cantik, sosok yang pertama kali kujumapai dikawasan yang asing ini, guru yang disebut Hidayah, Petunjuk. Dia menatapku dengan penuh kasih sayang,’Wahai hamba malang yang diperbudak oleh diri sendiri, dipengasingan tanah asing ini! Wahai pengembara yang jauh dari kampung halaman! Kamu tidak akan menemukan obat penyakitmu ditempat roh ini. Tinggalkan tempat ini. Pergilah kewilayah nun jauh disana, didekat gerbang istana Muthmainnah. Nama tempat itu adalah Fana’ –Peniadaan diri. Disana akan kautemukan tabibtabib yang telah merasakan Fana’, yang mengetahui rahasia fa-afnu tsumma afnu tsumma afnu fa-abqu tsumma abqu tsumma abqu –‘Tiadakanlah dirimu, tiadakanlah dirimu, tiadakanlah dirimu, agar engkau kekal, agar engkau kekal, agar engkau kekal buat selamalamanya’.

Tanpa menunggu lebih lama, aku pergi kewilayah fana’. Kulihat penduduknya bisu, tidak berkatakata, seolaholah mati, tanpa tenaga untuk mengucapkan barang sepatah kata. Mereka telah meninggalkan harapan untuk beroleh manfaat dari ucapan dan benarbenar telah menyerahkan jiwa mereka kepada malaikat maut. Mereka sama sekali tidak memperdulikan kehadiranku.

Tak kulihat mereka melakukan apaapa kecuali shalat lima waktu dalam sehari. Mereka telah tinggalkan konsep tentang perbedaan antara dunia dan akhirat. Mereka melupakannya. Bagi mereka, derita dan bahagia tidak ada bedanya. Mereka tidak lagi merasakan perbedaan antara halhal yang bersifat material dan spiritual. Tak ada pikiran yang menyita mereka. Tak ada sesuatu yang mereka ingat atau cari. Kebutuhan dan hasrat telah menjadi barang asing bagi mereka. Mereka bahkan telah berhenti meohon kepada Allah apa yang mereka inginkan.

Aku tinggal bersama mereka selama beberapa tahun. Kukerjakan apa yang mereka kerjakan. Aku benarbenar meniru mereka, tetapi aku tidak tahu keadaan bathin mereka. Oleh karena itu, aku tidak dapat melakukan apa yang mereka lakukan didalam bathin mereka.

Bahkan, ditempat itu, ditengahtengah mereka, saakitku terasa bertambah parah. Tetapi, ketika aku ingin mnejelaskan gejala penyakitku, aku tidak dapat menemukan tubuh atau eksistensi, bahkan sekedar mengatakan ‘inilah tubuhku’ atau inilah aku’. Kemudian aku tahu bahwa itulah ‘aku’yang telah kembali kepada si pemilik aku. Kemudian aku tahu bahwa mengatakan ‘wujud itu miliku’ adalah katakata dusta dan dusta adalah dosa bagi setiap orang. Kemudian aku tahu bahwa menanyakan pemilik sesungguhnya dari apa yang menjadi ‘miliku’ adalah kemusyrikan terselubung yang aku sendiri bertekad untuk mencampakkannya. Maka, apa yang harus dilakukan?

Dalam rasa takjub, kulihat aku terbebas dari semua keinginanku. Aku menangis dan terus menangis. Dalam keputusasaanku, seandainya aku memanggilNya,’Wahai Tuhanku’, maka yang ada menjadi dua aku dan dia, aku dan dia yang kepadaNya aku memohon pertolongan, kehendak dan Yang diCitacitakan, hasrat dan yang didambakan, yang mencintai dan Sang Kekasih. Aku tidak tahu jalan kembali.

Ratapan sedih itu menggugah malaikat ilham yang ditugaskan oleh Tuhannya untuk mengajarkan orang yang mencintai Allah. Dengan seizin Tuhannya, dia membacakan kepadaku bagian dari kitab ilham illahi yang berbunyi:’pertama sirnakanlah perbuatanmu’.

Dia berikan itu kepadaku sebagai hadiah. Ketika aku mengulurkan tanganku untuk menerimanya, kulihat tak ada tangan. Ia merupakan susunan air, tanah, eter dan api. Aku tak mempunyai tangan untuk mengambilnya. Aku tak memiliki tenaga untuk berbuat.

Hanya Yang Esa Yang memiliki kekuatan, yang Maha Perkasa. Apapun perbuatan yang terjadi melalui diriku, ia milik Pelaku Mutlak. Semua kekuatan, semua perbuatan kunisbahkan kepadaNya, dan kutinggalkan semua yang terjadi pada dirikudan melalui diriku didunia ini. Aku tahu karena aku diajarkan ilham oleh malaikat, apa yang dimaksud dengan sirnanya perbuatan seseorang. Segala puji hanya bagi Allah.

Dalil kewajiban mengingkari perbuatan seseorang dijalan kebenaran itu addalah ayat suci Al-Quran :
Katakanlah olehmu bahwa semua itu dari Allah(Q.S An-Nisa’[4]: 78)

Aku buta huruf dan belum pernah belajar, tetapi Allah Yang Maha Tinggi dalam manifestasi-Nya sebagai Kebenaran Tertinggi teklah memberikan aku kemampuan dan kekuatan untuk mengajar. Karena apa yang diriwayatkan disini adalah peristiwaperistiwa yang terjadi pada diriku, pengalaman yang menghadirkan keadaan pikiran dan spirit, dan seperti kata peribahasa, keadaan tidak dapat dituturkan melalui katakata, maka tidaklah mungkin mengungkapkan keadaan semacam ini untuk dapat dicerna dan dibayangkan orang lain.

Kemudian aku ingin, dengan izin Allah dan bantuan malaikat Ilham, untuk meninggalkan semua sifatku –yakni kualitaskualitas yang membentuk kepribadian seseorang. Ketika aku memandang yang kulihat bukanlah miliku. Ketika aku berkatakata, yang kuucapkan bukanlah miliku. Maknanya juga bukan miliku. Aku benarbenar tak berdaya, tercerabut dari semua atribut, yang terlihat maupun yang tak terlihat, yang membedakan aku dari semua sifat lahir dan bathin yang telah sungguhsungguh membentuk ‘aku’.

Dengan semua wujud, perasaan dan roh, aku membayangkan diriku sendiri sebagai esensi murni. Lalu kurasakan bahwa inipun dualitas. Apa yang harus aku lakukan, hubungan apa yang aku miliki, terhadap sesuatu yang bukan miliku? Aku lagilagi lemas.

Orang yang merindukan Aku adalah hambaku-Ku yang sejati

Betapa menyedihkannya bagiku, aku sama sekali tidak tahu apa yang harus kulakukan. Tanpa daya, aku mengaharapkan penyatuan.

Bahkan kemudian aku mendambakan agar rahasia ‘matilah sebelum kamu mati’ diungkapkan kepadaku. Wahai betapa menyedihkannya, inipun lagilagi merupakan dualism terselubung antara aku dan Yang Esa yang kurindukan. Inipun bukanlah kebenaran.

Apa gerangan penyakit yang menimbulkan rasa sakit tibatiba ketika aku bergerak, berkehendak, rindu, memohon pertolongan, berdoa dan meminta ni? Keadaan aneh apa yang aku rasakan dan sulit diatasi?.

Tanpa daya kuserahkan semua itu kepada Pemiliknya dan menanti dipintu ajal, tanpa rasa, tanpa pemikiran atau perasaan, seolaholah mati, menanti kematian menjemputku melalui setiap hembusan nafas. Aku tetap berada dalam keadaan semacam itu dan tak tahu sudah berapa lama.

Tak lama kemudian terdengar nasihat ‘tanyakanlah kepada hatimu’, kukatakan kepada hatiku untuk menunjuki aku. Dia berkata,’selama ada jejakmu didalam dirimu, engkau tidak akan mendengar seruan tuhanmu irji’ –‘Kembalilah Kepada-Ku!’.

Jika seekor kucing terperosok kedalam sumur garam dan tenggelam didalamnya, dan seketika itu juga tubuhnya menjadi garam, jika masih ada sehelai bulunya yang tersisa, dapatkah garam itu dimakan? Betapa sering dan lama para teolog berselisih dan membahas persoalan itu! Sebagian mengatakan bahwa meskipun tersisa sehelai bulu, garam itu tetaplah bersih, karena bangkai kucing itu kini telah menjadi garam; dan sebagian lagi mengatakan bahwa sehelai bulu sama nilainya dengan keseluruhan tubuh kucing itu. Oleh karena itu, garam itu najis dan haram untuk dimakan.

Kurasakan kebenarannya, dan aku berharap agar jejak diriku didalam diriku mati. Kubenamkan jejak itu kedalamkebahagiaan ilahi. Munculah ekstase, dariku, untuku melampaui apa yang menjadi miliku, menutupi segalanya, rasa yang mustahil untuk diungkapkan. Tanpa telinga, tanpa katakata, tanpa huruf kudengar seruan: ‘Irji’ – Kembalilah!”

Aku mencoba berpikir,’ keadaan apa ini?’ Pikiranku tak dapat menjawabnya, Aku diperintahkan untuk mengetahui bahwa akal tidak dapat berpikir tentang rahasia suci. Bahkan pengetahuan itu dirampas dariku secepat dia datang kepadaku.


Wahai penuntut ilmu, yang kupaparkan disini tidaklah kumaksudkan untuk menyatakan bahwa aku tahu, Oleh karena itu, hal itu hanya kalian ketahui setelah aku pergi dari tengahtengah kalian. Demi kepentingan para pencari kebenaran, para pecinta yang merindukan Sang Kekasih, mudah mudahan pengetahuan itu membantu mereka mengenali diri mereka sendiri, agar mereka menemukan, didalam kotakota yang telah aku telusuri, hakikat diri mereka, dan penduduk didalamnya yang menjadi sahabat mereka. Ketika dan jika didalam keikhlasan merekamengetahui tempat mereka, mereka akan berbuat menurutnya, dan mengetahui arah pintu keridhaan Allah dan bersyukur.

Mudah mudahan Allah mencurahkan rahmatNya kepada Syeikh Muhammad Shadiq Naqsabandi Ezinjani, Penulis asli karya ini, dan orangorang yang membacanya

0 komentar:

Post a Comment

Alangkah berbudinya anda, jika sedikit meninggalkan pesan untuk saya...