Sunday 7 August 2011

IKUTILAH AKU..(Rasul)

“ Kami tidak mengutus seorang Rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya Ia dapat memberikan penjelasan dengan terang kepada mereka “……..dst.
Rasul itu adalah utusan Tuhan. Dia adalah ZAT HIDUP yang menjadi penghubung antara Manusia dengan Tuhan yang Maha Hidup dengan jasad kasar seperti kita ini. Makanya dalam banyak ayat-ayat Kitab Suci kata Rasul-Nya TIDAK DIKAITKAN dengan jasad fisik ( jasmani ) Nabi Muhammad atau Nabi-Nabi yang terdahulu.
Terus mentaati atau mematuhi Rasul bukanlah mematuhi Hadis. Kalau ini yang kita lakukan, maka akan terjadi kepatuhan terhadap wujud jasad fisik seseorang atau imam yang telah mengajarkan Hadis. Ya…inilah namanya mematuhi orang lain atau mengikuti sangkaan pikiran, pendapat orang lain.
Mematuhi Rasul itu adalah mendengarkan dengan seksama suara hati kita, lalu kita wujudkan dan diaplikasikan dalam hidup ini baik melalui diri sendiri maupun melalui tangan orang lain.
Kita semua tahu dan sepaham bahwa perilaku seseorang itu dibatasi oleh lingkungan dan zamannya. Sebagai contoh kecil saja jika Nabi berpakaian gamis, maka sesungguhnya Abu Jahal dan abu lahab yang katanya kafirpun juga berpakaian gamis. Kenapa….? ya karena itulah pakaian dan tradisi orang arab. Jika nabi makannya tidak memakai sendok, maka orang-orang Arab lainnya pun demikian. Jika Nabi menggosok gigi memakai “ siwak “ , maka orang Arabpun demikian halnya. Tentu bukan wujud fisiknya yang ditiru sebagaimana yang kita lihat pada gaya sebagian orang di luar Arab sekarang ini. Adanya ayat yang berbunyi “ ikutilah Aku “ sebenarnya nuansanya menjadi bebas dari belenggu ruang dan waktu. Kalau mengikuti “Aku” dipahami mengikuti Nabi Muhammad secara fisikal, maka selesailah sudah perintah itu bagi kita yang tidak melihat Nabi, karena Nabi sudah tidak lagi hadir ditengah-tengah Umatnya.
Jadi Umat yang sekarang ini ya hanya meniru-niru, “katanya”. Ya kata Kiainya, Ulamanya, Gurunya. Mereka ( para tokoh agama ) tersebut pun tidak akan bisa melakukan klarifikasi atau “ tabayun ” terhadap sesuatu yang telah ditirunya secara turun temurun yang sifatnya “kolektif “. Mengapa….? karena tidak ada gambarnya Rasul dalam berbagai kesempatan dalam kehidupan kita sekarang ini. Yang kita terima hari ini hanyalah kisah-kisah beliau yang sifatnya “ ABSTRAK “. Kalau kita diberi tahu oleh seorang guru bagaimana Rasul itu makan, maka sebenarnya itu adalah “ ABSTRAKSI “ dari guru itu sendiri. Yang pada akhirnya yang kita tiru-tiru itu adalah perilaku fisik dan tindakan guru itu.
Lalu siapa yang dimaksud dengan “ Aku “…?.
Ketika Nabi masih hadir ditengah-tengah umat, maka “ aku “ tersebut tampil pada diri Nabi Muhammad saw dan itu merupakan tampilanyang amat indah bagi orang Arab. Tetapi orang laki-laki di indonesia yang rata-rata tidak berbakat memiliki jenggot mencoba memaksakan diri memelihara jenggot hanya sekedar “ sunnah Rasul “ katanya, hal ini sama saja dengan orang yang ingin menikmati kebahagiaan dengan cara kepura-puraan yang penuh dengan kepalsuan.
Perintah untuk mengikuti “ Aku “ itu tetap berlangsung sampai sekarang ini walau jasad fisik Nabi telah dikubur dalam tanah. Aku yang sebenarnya adalah merupakan pengejahwantahan, tajali Tuhan dalam diri Manusia yang telah dipilih-Nya. Jadi Aku yang sebenarnya adalah suara hati atau “ hati nurani “ yang ada dalam diri manusia.
Jika ayat tersebut telah menyebutkan “ siapa yang mengikuti Aku, maka Allah akan mencintainya “ . dengan memahami Aku sebagai petunjuk dan pelita yang ada di dalam hati, maka akan klop dengan permohonan “ ihdinas shirathal mustaqim “ . Jika seorang hamba benar-benar memohon kepada Tuhan untuk ditunjukkan kepada jalan yang lurus, maka jalan lurus itu akan TAMPAK NYATA dalam hati sanubarinya, nah bila hal itu secara terus menerus diikuti, maka janji Tuhan akan mencintai manusia jelas akan terwujud. Bukankah Tuhan TIDAK PERNAH INGKAR JANJI….?.
Taatilah Allah dan Rasul-Nya memang harus kita dudukkan sesuai porsinya. Ketika Nabi masih hadir ditengah-tengah umatnya, beliau memberikan “ keteladanan “ secara kongkret tentang bagaimana taat kepada Tuhan. Taat kepada Tuhan dalam khasanah Jawa bisa diartikan sebagai sifat dan perilaku yang “ Hamemayu Hayuning Bawono “ merawat Alam beserta isinya. Ketika bumi yang kita pijak ini dirawat sebagaimana mestinya, maka secara otomatis bumi akan memberikan “ berkah “ bagi umat manusia. Dalam bahasa Arabnya yang tertuang dalam Kitab Suci, ya sama sekali manusia dituntut untuk tidak melakukan kerusakan di muka bumi, menegakkan kebenaran dan keadilan. Menjadi saksi tentang kebenaran dan menciptakan kasih sayang atau perdamaian dalam kehidupan bersama tanpa melihat atribut yang melekat pada diri seseorang.
Mentaati Rasul-Nya berarti mentaati SUARA HATI NURANINYA dan menghidupkan KETELADANAN Rasul, bukan meniru-niru perilaku JASAD FISIK Nabi dalam bertindak……!.Adanya perintah yang bunyinya demikian “ sholatlah kalian seperti sholat yang Aku lakukan ( contohkan ) “. Secara kasad mata sangat mudah sekali kita meniru-niru gerakan sholat yang dilakukan Nabi, karena anak kecil saja akan mudah menirunya, namun apakah kita tahu apa yang bersembunyi dibalik “ Aku “ nya Nabi yang sebenarnya….?. Tapi rupa-rupanya kita ini sudah terlanjur hidup dalam suatu masyarakat dimana dalam menilai seseorang diukur dari sisi “ lahiriahnya “ saja, sehingga kita tidak mampu lagi melihat isinya. Akhirnya secara tak sadar kita telah “ terperangkap “ dalam kondisi wujud yang serba MATERI dan FISIK. Kita melakukan ibadah sholat karena meniru Nabi secara FISIK mulai dari gerakan-garakannya dan bacaan-bacaan sholat tapi ESENSI dari ibadah sholat yang sesungguhnya “ untuk mencegah perbuatan keji dan mungkar “ menjadi BIAS dan KABUR.
Jika demikian halnya, maka kita-kita ini tak ubahnya seperti sosok manusia-manusia yang STMJ ( bukan Susu, Telor, Madu dan Jahe ) melainkan “ SHALAT TETAP dilakukan tetapi MAKSIAT JALAN terus “..he..he…

By Ahsanun Nailillah

Published with Blogger-droid v1.7.4

0 komentar:

Post a Comment

Alangkah berbudinya anda, jika sedikit meninggalkan pesan untuk saya...