Wednesday 1 February 2012

Tentang Penyerahan Diri

Tentang Penyerahan Diri

~SufiWay~

Suatu bentuk kesadaran yang tertinggi adalah penyerahan diri kepada Allah Yang Maha Menentukan. Suatu kepasrahan yang ikhlas dan optimis, bukan kepasrahan tanpa harapan. Penyerahan diri yang dilakukan di setiap menjelang ikhtiar dan di saat berjeda, akan mendatangkan petunjuk, karena hawa nafsu tidak bermain. Apa yang dilakukan adalah apa yang diinspirasikan ke dalam hati dan pikiran. Kepasrahan bukan secara menyengaja melenyapkan hasrat keduniaan samasekali. Kepasrahan berarti menyerahkan sepenuhnya pengaturah hidupnya kepada Allah. Misalnya, Sulaiman menjadi Raja yang hebat bukan karena ambisinya, namun karena kepasrahannya, dan oleh Allah diamanahkan kerajaan yang tidak pernah dimiliki oleh orang sebelum dan sesudahnya. Kepasrahan itu berarti mengistirahatkan hawa nafsu dalam melihat masa depan. Hawa nafsu digunakan hanya pada saat amanah itu sudah diturunkan. Misalnya seorang yang diamanahkan untuk menikah, hawa nafsunya akan bermakna saat dia bisa menyalurkan syahwatnya. Nabi Muhammad menjadi Nabi bukan karena banyak membaca atau berdiskusi tentang agama sebelumnya, namun beliau banyak memasrahkan diri dengan berkhalwat di gua Hira.

Di lereng bukit yang terjal dan keras, dalam gua hira yang sempit dan gelap, berhari-hari Muhammad berkontemplasi merenung, mempertanyakan segalanya tentang hidup. Dan di suatu kedalaman ruhani, tiba-tiba terdengar suara menggema:

"Bacalah."

Muhammad menggigil ketakutan, hingga berulangkali suara itu memerintahkan.

"Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya."

Inilah terminologi Sufistik dalam menyeimbangkan batin untuk memadukan upaya dengan takdir.

Manusia yang tahu diri adalah manusia yang banyak berdialog dengan Allah. Dialog ini tidaklah hanya dibatasi oleh peribadatan rutin, karena Dia Yang Maha Dekat tidak menuntut formalitas.

Meski seseorang sedang melakukan ritual ibadah, namun sesungguhnya bukan ibadah jika dalam melakukannya hati tidak sedang bersama Allah. Sebaliknya, jika secara lahiriah mungkin tampak tidak sedang melakukan ibadah, namun ketika itu hatinya sedang bersama Allah, itu adalah ibadah.

Published with Blogger-droid v2.0.4

0 komentar:

Post a Comment

Alangkah berbudinya anda, jika sedikit meninggalkan pesan untuk saya...